“BERHATI-HATILAH DENGAN LISANMU”
Oleh : Aulia Salsabila
Santri Putri PP Al Irsyad Kudus
Apa itu lisan ?
Lisan yang kecil nan mungil kalau tidak hati-hati dalam
berbicara itu akan menyakiti hati orang lain.
Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan
yang menyebabkan dia tergelincir ke dalam neraka yang jaraknyaa lebih jauh
antara timur dan barat.” (HR.
Bukhari Muslim).
Seringkali seseorang berbicara tanpa diawali proses berpikir
dan tidak melalui pertimbangan sebelumnya. Tindakan seperti itu justru mengundang
masalah baru yang boleh jadi akan berlarut-larut, sehingga memperkeruh keadaan
dan mengancam tali ukhuwah dengan sesama Muslim. Apabila hal ini terjadi maka
tidak ada tempat bagi orang yang berbicara kecuali neraka.
Pepatah mengatakan, “Mulutmu harimaumu.” Oleh
karena itu, kecermatan dalam berbicara harus kita upayakan sebaik-baiknya. Kita
perlu tahu secara pasti, kapan kita bicara, apa yang harus kita bicarakan, dan yang
paling penting adalah manfaat apa yang akan diperoleh diri sendiri dan orang
lain ketika kita berbicara.
Suatu hari seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW
seraya berkata, “Ya Rasulullah! Sungguh si fulanah itu terkenal banyak
shalat, puasa, dan sedekahnya. Akan tetapi juga terkenal jahat lidahnya
terhadap tetangga-tetangganya.” Maka berkatalah Rasulullah SAW kepadanya, “Sungguh
ia termasuk ahli neraka.” Kemudian laki-laki itu berkata lagi, “Kalau si
fulanah yang satu lagi terkenal sedikit shalat, puasa dan sedekahnya, akan
tetapi ia tidak pernah menyakiti tetangganya.” Maka Rasulullah SAW berkata,
“Sungguh ia termasuk ahli surga.” (HR.Muslim)
Ketika dalam keadaan di mana pun mau pun kapan pun kita
tidak mengerti apa yang harus kita ucapkan, tidak berbicara adalah langkah yang
bijaksana. Lukman al-Hakim menasehati putranya dengan mengatakan bahwa, “Diam
itu hikmah tapi sedikit sekali orang yang melakukannya.” Ali bin abi tholib
berkata ucapan itu sebagai obat dalam dosis kecil dan dalam dosis besar ucapan
asebagai racun.
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari
akhir, hendaklah dia berbicara yang baik atau diam” (HR. Bukhari).
Imam Nawawi menjabarkan bahwa hadis di atas adalah hadis
shohih, yang menjelaskan bahwa kita tidak pantas berbicara kecuali berbicara
yang baik dan jelas-jelas mengandung maslahat. Bila diragukan kemaslahatannya,
maka diam adalah langkah yang utama untuk dilakukan.
Jadi berbicara menduduki posisi yang sangat strategis.
Dengan iman dan ilmu, pembicaraan yang kita lakukan dapat mengundang berkah dan
keridhaan Allah SWT. Sebaliknya, berbicara terus-menerus tanpa ilmu, tanpa
berpikir panjang akan mengantarkan kita pada kemurkaan-Nya.
Termasuk tatkala kita ingin menghibur orang lain dengan
perkataan lucu. Sekalipun dalam maksud bercanda, berbicara yang lucu tetap
tidak boleh mengandung unsur dusta atau sia-sia belaka.
Rasulullah sangat melarang umatnya berbicara, berbohong
meski dengan maksud agar orang lain tertawa karena mendengarkannya.
“Celaka bagi orang yang berkata
kemudian berbohong supaya orang-orang tertawa, maka celaka baginya, maka celaka
baginya.” (HR. Abu
Dawud)
Sepanjang hari, siang dan malam setiap orang pasti
berbicara. Dan, esok hari pun kita akan berbicara dan terus berbicara. Oleh
karena itu hemat dan cermatlah dalam berbicara. Jangan sekali-kali membuka
celah untuk berkata bohong. Sebab pintu-pintu kebohongan lainnya akan terbuka demi
untuk menutupi kebohongan pertama. Maka dari itu tidaklah berlebihan jika perkataan
yang baik itu memiliki derajat yang lebih utama daripada sedekah yang diungkit ungkit
hingga menyakiti perasaan yang menerimanya.
قَوْلٌ مَّعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ
خَيْرٌ مِّن صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ
“Perkataan yang baik dan pemberian
maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan
(perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS. Al Baqarah: 263).
Kini, mari jaga lisan kita dari kata-kata yang
tak berguna
0 komentar: